“Cakka...” Ujar Oik
kaget.
Orang itu yang tak
lain adalah Cakka memberhentikan langkahnya namun ia bergeming di tempatnya.
Cakka tak menoleh.
Oik meninggalkan Dayat
yang masih bingung dan segera berlari mendekati Cakka. Lalu menepuknya
pura-pura tidak terjadi apa-apa. “Eh, Kka. Loe kok masih di sini sih? Tadi
katanya ada urusan.” Oik tersenyum kikuk.
Cakka menghela napas.
“Ya, ini gue mau pulang.” Jawab Cakka dingin. Cakka menatap lurus ke depan tak
sanggup melihat Oik.
Oik menangkap sikap
dingin Cakka terhadap dirinya. “Oh. Tapi kenapa tadi lari? Mana motor loe Kka?”
Tanya Oik lagi.
“Ada. udahlah gue mau
pulang.” Tanpa menunggu jawaban lagi dari Oik, Cakka segera melangkahkan
kakinya meninggalkan Oik yang masih dengan pikiran kacaunya. ‘Kenapa Oik gak
peka banget sih. Gue kecewa Ik, sama loe.’
‘Aduh, gimana ini? Apa
tadi Cakka cuman lewat aja atau malah udah denger semua percakapan gue sama
Dayat ya? Kalau iya gawat dong. Jangan-jangan Cakka....’ Oik baru ngeh waktu
tadi mengingat ucapan Cakka sangat dingin padanya. ‘Cakka pasti marah. Oik!!
Loe jadi orang kok tolol banget sih, Cakka pasti salah paham sama loe Ik!
Gara-gara tadi dia ngeliat Dayat.’ Oik merutuki dirinya sendiri, kenapa tadi
dia nggak peka banget.
Saat Oik akan berlari
mengejar Cakka, tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menahannya.
“Kamu mau kemana?”
tanya Dayat sambil mengernyitkan dahinya.
“Ah, Dayat lepasin!
Loe gak perlu tahu deh gue mau kemana.” Dengan sekuat tenaga Oik mengibaskan
tangan Dayat. Terlepaslah tangan kokoh itu dari lengannya.
“Eh, gue ikut!”
“Gak usah!” Oik
berlari meninggalkan Dayat. Namun baru lima langkah, Oik berbalik lagi
menghampiri Dayat. “Jangan ganggu hidup gue lagi, please!”
Setelah mengucapkan
kalimat itu, Oik langsung berlari meninggalkan Dayat. Ia berusaha berlari
dengan sekuat tenaganya, untuk bisa mengejar Cakka.
Namun waktu sampai di
tempat parkir, Oik melihat Cakka yang baru saja berlalu dari hadapannya tanpa
menoleh sedikit pun ke arahnya. Muka Cakka tertutupi dengan helm full facenya. Jadi Oik tidak bisa
melihat ekspresi muka Cakka saat ini.
Bahu Oik tiba-tiba
saja terkulai dengan lemas. Menatap kepergian Cakka dengan tatapan nanar.
Akhirnya Oik pun
meninggalkan sekolahnya dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
***
Keesokan paginya –
Oik telah menunggu
Cakka di depan kelasnya dengan ditemani Ify mengobrol. Tak lama kemudian orang
yang ditunggu-tunggu datang juga. Cakka datang bersama dengan Ozy dan Ray.
Mereka terlihat sedang mengomongkan hal seru.
“Ik, Cakkanya udah
dateng tuh. Cepet gih samperin! Aku percaya kok sama kamu. Go Oik, go!” Ify
memberi semangat untuk sahabatnya ini.
“Doa’in ya, Fy.”
“Sip” Ify mengedipkan
sebelah matanya.
“Cakka” panggil Oik
dengan senyum mengembang.
Ozy, Ray, dan Cakka
pun tersadar. Tiba-tiba saja raut wajah Cakka kembali keruh.
“hay Oik.” Sapa Ozy
dan Ray berbarengan.
“Hay, Zy, Ray.” Oik
membalas sapaan mereka dengan senyum. “Bisa...”
“Mau ngomong sama
Cakka ya? Ya udah deh, gue sama Ray masuk dulu ya.” Ozy yang mengerti, langsung
menyela. “Ayo Ray. Kita masuk aja! Masih ada yang mau berduaan nih.” Ozy
mengedipkan matanya sambil tersenyum jahil.
“Ayo, Zy.” Ray
membalas candaan Ozy. Ray menggandeng tangan Ozy dan masuk ke dalam kelas.
Setelah kepergian Ozy
dan Ray, tiba-tiba saja suasana menjadi hening dan mencekam. Cakka mencoba
bersabar menunggu Oik ngomong.
“Gue.... Gue... Gue
bisa jelasin, Kka. Kemarin itu nggak seperti yang loe bayangin.” Oik menghela
napas, otaknya terus berfikir untuk mencari kata-kata yang tepat. Karna jika
salah ucapan sedikit saja, semuanya akan tambah runyam. Dan Oik tidak mau itu,
tidak mau hubungannya dengan Cakka hancur.
“Emangnya apa yang mau
dijelasin?” tanya Cakka dingin.
“Tentang kemarin.”
“Kemarin yang mana?”
“Gue tahu Kka, gue
salah. Selama ini gue udah bohong sama loe. Bukan maksud gue untuk ngelakuin
itu sama loe. Tapi keadaan yang memaksa.”
“....”
“Oke, Kka. Dalam hal
ini gue yang salah. Gue udah ngomong
sama loe, Dayat udah mati karna OD. Itu semata-mata untuk... ya, karna gue mau
ngelupain semua tentang dia. gue nganggap dia sudah mati, biar gue bisa hidup
tenang, dan kini gue pindah ke Jakarta.” Jelas Oik panjang lebar.
“Terus apa hubungannya
sama gue?”
“gue tahu loe marah
sama gue gara-gara ini. Iya kan?”
“Loe tahu nggak? Loe
itu jahat banget Ik! Gue kecewa banget sama loe. Padahal selama ini gue
berusaha untuk jujur, karna gue...” tiba-tiba saja Cakka berhenti berbicara.
“Loe kenapa?” tanya
Oik lemah.
“Udahlah lupain aja!”
Cakka berlalu dari hadapan Oik.
“Cakka tunggu!” Namun
Cakka tetap tak menoleh.
-
-
-
Waktu istirahat Oik
tak melihat Cakka di kantin. Oik hanya melihat Ozy dan Ray yang sedang makan di
kantin tanpa Cakka.
Hari-hari berikutnya
pun masih sama saja. Cakka seperti menjauh dari Oik. Sepertinya ia sangat
kecewa dengan gadis itu.
Oik sampai tak tahu
lagi harus bagaimana. Untuk menangani Cakka.
Oik yang frustasi
mencari Cakka, akhirnya kembali dekat dengan Dayat. Dayat dengan gayanya yang
meyakinkan, mengajak Oik kembali padanya. Oik pun merasa tak punya pilihan
lain. Apalagi Dayat sudah berjanji akan berubah.
“Oik, makasih ya. Kamu
masih mau percaya sama aku.” Ujar Dayat suatu hari, saat mereka sedang jalan
bareng.
“Iya, Day. aku akan
kasih kamu kesempatan untuk berubah. Karna setiap manusia dalam hidupnya pasti
memiliki kesempatan itu.” Oik tersenyum.
Dayat meraih Oik,
mendekapnya erat. “Aku senang Ik, bisa bareng-bareng sama kamu lagi kayak gini.
Aku janji akan berubah demi kamu.” Ia mengecup kening Oik.
Dayat menegakka tubuh
Oik. “Oik, kamu mau nggak ikut aku ke Bandung?” tanya Dayat.
“Maaf Day, kalo itu
aku nggak bisa. Mama aku ada di sini. Dan kayaknya aku nggak bakalan pindah ke
sana lagi deh.”
“Kalo gitu, kita ke
sana weekend ini aja. Ayolah Ik, please. Hitung-hitung liburan.” Dayat memohon
dengan muka memelasnya.
“Gimana ya?” Oik
tampak berpikir.
“ayo mau dong..”
“Iya deh, nanti aku
coba untuk ngomong sama mama.”
“Yey... makin sayang
deh sama kamu, Ik.” Dayat kembali memeluknya.
-
-
-
Pagi ini Oik ijin, ia
menggunakan waktu itu untuk membereskan bawaannya. Siang ini dia dan Dayat akan
pergi ke Bandung. Lagian juga benar apa kata Dayat, ia harus mengistirahatkan
otaknya sejenak. Oikterlalu penat untuk berpikir, apalagi masalah yang
dihadapinya akhir-akahir ini dengan Cakka. Cakka yang tiba-tiba saja
menghilang.
Lagu You Belong With
Me –Taylor Swift mengalun dari HP Oik. Menandakan panggilan masuk.
“Iya, Day”
“Kamu masih apa?”
tanya suara diseberang yang tak lain Dayat.
“Ini aku lagi
beres-beres pakaian”
“Ya udah. Sampai
ketemu nanti. “
Jam sudah menunjukkan
pukul tujuh lewat sepuluh menit, namun orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung
datang. Bahkan bel telah berbunyi lima menit yang lalu. Tak biasanya Oik kayak
gini. Ify dan Aren yang satu kelas dengan Oik pun jadi kebingungan.
“Aduh Fy, loe dari
tadi ngapain sih bolak balik gitu. Gue yang ngeliatnya pusing sendiri tau
nggak?” protes Aren dari tempat duduknya. Untung saja Pak Tegar guru Fisikanya
belum masuk.
Akhirnya Ify kembali
duduk di tempat duduknya yang sebelahan dengan Aren. “Gue khawatir terajdi
sesuatu sama Oik. Gue nggak tahu nih, feeling gue mengatakan Oik sedang dalam
keadaan...”
“Sssttt! Fy, loe
jangan ngomong yang enggak-enggak dong ke Oik. Doa’in kek, tidak ada sesuatu
yang terjadi dengan Oik. Loe tenang dulu, kita positive thinking aja ya.” Ujar
Aren menenangkan.
“Ya udah deh.” Ify
tersenyum.
“Gitu dong.”
‘Duk,duk,duk’ Alvin
terus memantulkan bola basketnya. Basket sudah menjadi makanan pokok bagi Alvin
yang notabennya adalah kapten basket sekolah. Orang kepercayaan bagi para
anggotanya dan juga Pak Rahmat guru Olah raganya.
Tree point.
Lagi-lagi Alvin
berhasil memasukkan bolanya.
“Vin, udahan ya. Gue
capek nih.” Keluh salah satu pemain, cowok jangkung bermata belo. Dia adalah
Deva.
“Ah elo mah gitu,
Dev.” Timpal temannya lagi yang masih terus bermain-Rizky-
Sedangkan Alvin tidak
peduli dengan apa pun. Ia tetap berkonsentrasi dengan bola basketnya.
Deva berjalan menepi
lapangan, duduk di bangku penonton tempat mereka menaruh barang-barang. Saat
mengambil handuk tak sengaja Deva melihat sebuah BB berkedip-kedip. kalau tak
salah milik Alvin.
“Ini BB kan milik
Alvin. Ceroboh banget tuh bocah taruh HP sembarangan.”
“Hai, Dev.” Sapa seseorang
dari belakang.
Sontak Deva menoleh,
“Eh, Shilla. Mau nyari Alvin ya?” tanyanya sambil tersenyum.
“Iya, nih. Dev,
bukannya itu BB Alvin ya? Kok ada di kamu. coba deh sini aku liat.” Tanpa
menunggu Deva mengeluarkan kata-kata, BB itu sudah pindah ke tangan Shilla.
“Eh, itu....” Deva
tergagap karena tadi ia sempat melihat siapa yang menghubungi Alvin.
“Tenang Dev, gue
bakalan kasihin ke Alvin kok. Udah sono main lagi.” Ujar Shilla meyakinkan.
Deva bimbang antara
mau ke lapangan lagi atau tetap di situ.
Tak berapa lama BB
Alvin berbunyi kembali. Tanpa berpikir panjang lagi, Shilla mengangkatnya.
“Beb, kamu masih di
mana sih? Aku cariin dari tadi juga.” Ujar suara cewek di seberang dengan nada
yang manja.
Shilla yang
mendengarnya shock. “Eh, lo salah sambung ya!” sembur Shilla memutuskan
panggilan.
Tapi lagi-lagi HP itu
berbunyi.
“Apaan?!” sembur
Shilla.
“Loe siapa? Bukannya
ini Hpnya Alvin? Alvinnya mana?” cerocos suara di seberang.
“Gue ini pacarnya!
Puas loe?” Shilla mematikan lagi.
Saat Shilla berbalik,
di belakangnya sudah ada Alvin. Ia sudah selesai dengan kegiatannya. Dengan
pandangan datar Alvin segera merebut Hpnya dari tangan Shilla.
“Loe apa-apaan sih?”
“Gue? Loe itu yang
apa-apaan! Siapa cewek tadi? Reva?” Shilla mengernyitkan dahi.
“Dia pacar gue.”
Mulut Shilla menganga
seketika. Tapi hanya dibalas senyum sinis Alvin.
“Kenapa? Gak suka?”
“Al... tapi kan gue..?”
“Kalau loe gak suka,
mulai sekarang kita putus!” Setelah mengatakan itu Alvin mengutak atik Bbnya dan
pergi diikuti teman-temannya. Tidak menghiraukan Shilla yang masih shock dengan
semua ini.
‘Teng-teng-teng’ Bel
pulang sekolah berbunyi. Saatnya semua siswa-siswa pulang ke rumah
masing-masing. Apalagi didukung dengan panasnya terik matahari.
“Kka, loe denger kan? Tadi
Ify sama Aren bilang kalau Oik nggak masuk hari ini. Kira-kira dia kemana ya? Loe
sendiri nggak tahu?” tanya Ray.
“Iya, nih Kka. Loe
nggak mau cari tahu apa dia kemana? Ntar kalau Oik ilang gimana?” Ozy shock
dengan pikirannya sendiri yang langsung mendapat satu jitakan dari Ray. “Ish,
sakit tau Ray!”
“Habis loe mikirnya
begituan.”
Saat mereka bertiga
sedang asyik dengan pikiran mereka masing-masing tiba-tiba saja suara cewek
membuyarkan pikiran mereka semua.
“Cakka.” Panggil suara
itu.
Cakka yang merasa di
panggil namanya segera menoleh. Tapi tiba-tiba ia jadi males saat ia ketahui
orang tadi Shilla.
“Ada apa?” tanya
Cakka.
“Aku mau bicara sama
loe Kka.”
Cakka menatap Ray dan
Ozy yang hanya disahuti dengan angkat bahu. “Mau ngomong apa? Udah cepetan di
sini aja!”
“Nggak bisa. Aku
maunya cuman kita berdua aja.”
Ozy dan Ray yang
mengerti mereka pun pamit ke Cakka. “Kka, kita pamit pulang dulu. Hati-hati
sama mak lampir!” :p Ujar Ray sambil melirik Shilla.
Cakka hanya
mengangguk, mereka berdua langsung ngacir saat Shilla melotot.
“Cepetan mau ngomong
apa?”
“Gue mau minta maaf,
Kka. Sama kamu. Kamu mau nggak maafin aku?” Tanya Shilla. “Aku nyesel karna
sudah percaya sama Alvin dan mutusin kamu. aku nyesel Kka. Ternyata dia itu
Playboy. Dia punya cewek lain. Dan dia lebih milih ceweknya itu daripada aku. Hiks..”
Kata Shilla sambil sesenggukan.
“Terus?”
“Terus ya, Lo mau
nggak balikan lagi sama gue?” Shilla memohon.
“Kalau soal itu maaf
Shill. Gue nggak bisa.”
“Kenapa Kka? Bukannya dulu
loe cinta sama gue?”
“Itu dulu. Tapi sekarang
udah nggak. Kamu nggak bisa maksa!”
“Siapa? Oik cewek
junkiens itu?”
“Jaga ya mulut loe!
jangan sampe gue berbuat lebih. Loe nggak perlu tahu.” Cakka meninggalkan
Shilla begitu saja.
__At Phone
“hallo, Kka.”
“Zy, ajak Ray. Gue mau
ke rumah Oik. Perasaan gue nggak enak nih.”
“Oke Kka.”
Tak lama kemudian Ozy
dan rombongan sudah melesat ke rumah Oik setelah tadi menjemput Cakka di
rumahnya. Ify, Aren dan Acha juga ikut.
“Maaf, kalian siapa
ya?” tanya pembantu rumag Oik.
“Kami teman-teman
sekolah Oik mbok. Oiknya ada?” tanya Ify.
“Aduh sayang banget
non, non Oiknya tadi pamit pergi bawa tas gede gitu.”
“sama siapa mbok?”
kini giliran Cakka yang tanya.
“Kalau nggak salah
tadi siapa ya? Den Dayat.. iya den Dayat.”
“Mbok tahu mereka mau
kemana?”
“Ke Bandung katanya. Tapi
mereka nggak mau diganggu.”
“Mbok tolong kasih tau
kami, mereka mau ke mana. Please mbok, ini menyangkut keselamatan Oik soalnya.
Ayolah mbok, Dayat itu bukan orang baik-baik.” Mohon Ify.
“Masak non? Ya udah
deh, kalian tunggu sebentar ayo masuk.”
“Kami di sini aja
mbok.”
Mbok Nah pun segera
masuk ke dalam rumah. Ia mencari-cari alamat yang tadi sempat ditinggalkan Oik,
karna Oik sendiri merasa dirinya belum yakin sama keputusannya ini.
Setelah menemukan
alamatnya yang tadi diletakkan di buku telepon, mbok segera memberikannya
kepada Ify dan kawan-kawan.
“Makasih ya mbok.”
Ujar Ify dan yang lainnya.
“Mbok, titip non Oik
ya.”
“Sip lah itu. disini
kan ada supermannya.” Ozy dan Ray melirik Cakka menggoda.
Mereka semua
tersenyum-senyum sendiri melihat Cakka salting. “Ya udah mbok kami semua pamit.”
Ujar Cakka cepat.
“Hati-hati...”
Ozy menyalakan gas
mobil, kali ini dia yang menyetir.
“Eh,kita lapor ke
polisi dulu aja zy. Biar kalo terjadi apa-apa Polisi langsung nangkep Dayat
gitu.” Usul aren.
“Baiklah kalo begitu.”
Sore hari di Bandung
suasananya sungguh sejuk. Angin berhembus pelan, orang-orang berbondong-bondong
pulang dari sawah atau perkebunan.
“Gimana Ik suasananya?”
Tiba-tiba saja Dayat telah berdiri di belakangnya. Oik menoleh.
“Em, nggak ada yang
berubah sih. Tapi aku suka banget pemandangan kayak gini.” Ujar Oik.
Dayat melingkarkan
tangannya di pinggang Oik, Oik merasa merinding sendiri.
“Kamu bakalan lihat
suasana kayak gini terus kok. Kita bakal hidup bersama selamanya.”
Oik mencium bau
alcohol dari Dayat. “Day, kamu nggak lagi mabuk kan?” tanya Oik.
“Nggak kok. Tenang aja!”
Ujar Dayat sambil tersenyum. “Ya udah sana kamu mandi dulu, bau tau. Habis ini
kita senang-senang.” Oik mengangguk,
Dayat tersenyum sinis
saat Oik memasuki kamarnya. Sambil menunggu gadisnya itu mandi, ia membuka
kertas yang terdapat bubuk putih. Cowok itu menghisapnya, ‘Habis ini kamu
bakalan jadi milikku selamanya Oik.’ Batinnya. Cowok itu tersenyum-senyum
sendiri.
Oik yang baru saja
selesai mandi, ia merasa badannya segar kembali. Sore ini Oik memakai hem
lengan pendek dan celana panjang. Oik masih sibuk mengeringkan rambutnya saat
ada suara ketukan pintu di depan kamarnya.
“Iya, bentar.”
“Kamu udah selesai
mandinya?” tanya Dayat. Oik hanya mengangguk dan tersenyum. Tiba-tiba saja
Dayat mendekatkan badannya ke Oik, Oik yang merasa aneh segera menyingkir.
“Oh, ya Day. makan
yuk!” Ajak Oik. Gadis itu berlalu ke arah dapur.
Namun dayat mencekal
tangannya. “Kamu jangan pura-pura gitu deh.” Dayat mulai dengan rayuannya.
Tangan kanannya menyentuh wajah Oik. “Kamu nggak berubah ya Ik. Aku makin cinta
deh.”
“Day, kamu mau
ngapain?” tanya Oik agak ngeri.
Dayat memeluk Oik dari
belakang, tangannya melingkari pinggang Oik erat sampai Oik bisa merasakan deru
napas Dayat di belakan telinganya.
Oik mencoba melepaskan
tangan Dayat dari pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan Oik menjauhi Dayat,
namun Dayat tetap mengejarnya.
“Dayat kamu jangan
macem-macem ya!”
“Aku nggak macem-macem
kok, Ik. Aku cuman mau satu macem aja dari kamu.” Senyumnya terkembang.
Tiba saja Oik
menginjak sebuah kertas. Ia seperti mengenali kertas ini, kertas yang digunakan
untuk membungkus sabu-sabu.
“Dayat, kamu ngobat?
Kamu belum berubah, Day. aku kecewa sama kamu!” Oik kini merasa asing dengan
suasana ini.
“Terserah kamu mau
ngomong apa. Yang penting sekarang kamu nggak bisa lari lagi dari aku. Ahhahaha...”
Dayat tersenyum puas.
“Selama aku masih
hidup kamu tidak akan pernah bisa!” Setelah mengatakan itu, Oik merasa ia salah
berkata.
Oik terus mundur. “Kamu
nggak bisa lari, Ik!”
“Jangan Day, please.”
Oik memohon. Namun Dayat terus mendekatinya.
Oik menabrak tembok,
ia sudah tidak bisa berlari lagi. Oik terus berdo’a agar bantuan segera datang.
“Kalau gini, kamu
bikin aku gemes deh Ik.” Dayat menoel pipinya. Namun segera Oik tepis. Saat
Dayat akan menciumnya, Oik segera memukul Dayat. Namun kakinya di jegal Dayat.
“Please Day, jangan
sentuh aku.”
Kali ini Oik sudah
kehabisan tenaga, Ia telah terjatuh dan tak bisa berdiri lagi. “Tolong!!!
Tolong!!!” Teriak Oik.
“Percuma, nggak akan
ada yang mendengar.” Dayat menindih tubuh Oik, saat cowok itu akan menciumnya
lagi, tiba-tiba saja..
‘Dug’ Dayat jatuh
tersungkur di samping Oik. “Ayo Ik, pergi!” seru Cakka.
“Cakka, kamu..” Cakka
segera membantu Oik berdiri.
“Cepetan kamu keluar!
Di luar sudah ada Ify, Aren, dan Acha.”
“kamu?”
“kamu nggak perlu
khawatir. Kan soal dayat biar aku, Ozy dan Ray yang urus.” Cakka memohon ke
Oik.
“Zy, tolong bawa Oik
ke depan! Sekarang!”
“Oik kamu tidak
apa-apa?” tanya Ify.
“Hiks... Dayat.. tadi
mau..”
“Iya Ik, aku ngerti. Kamu
yang tenang ya. Di dalam sudah ada Cakka, Ozy, sama Ray.” Ify, Aren, dan Acha
masih terus menenangkan Oik. Dan mengelus-ngelus punggung gadis itu. ‘nyaris
saja’
“Tapi..”
“Bentar lagi Polisi
datang. Udah serahin aja sama kak Cakka! :D” Acha mencoba menghibur.
Tak lama setelah itu
polisi datang. Mereka bergerak dengan cepat memasuki rumah Dayat.
Seorang Polisi
menghampiri mereka bertiga. “Makasih ya adek-adek. Dayat memang buronan yang
sedang kami cari selama ini.” Polisi itu tersenyum berterima kasih.
“Baik pak.” Ujar Aren.
Setelah Dayat di bawa
pergi polisi, Cakka, Ozy, dan Ray pun segera keluar menghampiri anak-anak
cewek.
“Oik kamu nggak
kenapa-kenapa kan?” tanya Cakka khawatir.
“Enggak Kka, ini semua
berkat kamu.” Oik terharu. “Kamu sendiri tidak apa-apa? Ini luka kamu” Oik
menyentuh pipi kiri Cakka yang agak lebam.
“Au...” Cakka meringis
kesakitan. “Nggak apa-apa kok. Aku seneng kamu selamat.” Sesaat kemudian suasana
berubah menjadi hening.
“Ik, aku mau minta
maaf. Aku udah nggak percaya sama kamu. aku memang bodoh Ik.” Cakka terus
menyalahkan dirinya sendiri.
Oik menyentuh tangan
Cakka. “Ini semua bukan salah kamu kok Kka. Tapi aku. “
“Enggak Ik.”
“Ya udahlah, jangan
nyalahin diri masing-masing. Cepetan woy kangen-kangenannya, durasi nih. “ Ujar
Ozy. Mereka semua hanya tertawa.
“Jadi...” Oik
menunggu.
“Jadi kamu mau nggak
terima aku sebagai pacar kamu? Aku baru sadar ternyata aku mencintaimu Ik,
lebih dari apapun. Aku nggak rela terjadi apa-apa sama kamu. aku bakalan relain
nyawaku demi kamu. Jangan pergi lagi ya.”
“Aku mau kok. Aku juga
mencintaimu Kka. Ih siapa coba yang pergi, orang kamu duluan tuh yang pake
menghilang segala.”
“Ih, kamu itu ya.”
Cakka mengacak-acak rambut Oik.
“Ais.. Cakka. Berantakan.”
Cakka kini merangkul Oik.
“Ekhm.. kita jadi obat
nyamuk deh.” celetuk Ray.
“Oh, iya Ik. Asalkan kamu
tahu, tadi yang punya ide ini itu Kak Cakka tahu. Dia yang ngotot mau nyari
kamu.” Ujar Acha, sedangkan Cakka sudah melotot ke arah adiknya.
“Ampun kak :D”
“Ya udah, mending kita
pulang. Udah mau malam nih.” Ajak Oik.
Mereka semua pun
mengangguk.
“Asalkan jangan lupa
ntar PJ!!!”
nnnnnn
BalasHapus